Universitas manapun bisa dapat beasiswa Australia AAS 2015
Beasiswa AAS |
Pernahkah Anda mendengar nama “Universitas Katolik Widya Mandira”
? Jika Anda tidak berasal dari NTT dan kurang gaul seperti saya,
mungkin jawabannya adalah “tidak”. Terus terang saya belum pernah
mendengar nama universitas ini sampai akhirnya saya bertemu Cilla. Nama
lengkapnya Priscilla Maria Assis Hornay. Just in
case you are wondering, YES, there is an ‘a’ between ‘n’ and ‘y’ in her
last name, so shut it and let’s get down to business! :)
Pertemuan saya dengan Cilla di Sydney
mengingatkan saya pada banyak pertanyaan yang saya terima perihal
beasiswa luar negeri, terutama beasiswa Australia Awards Scholarship
(AAS) atau yang dulu disebut Australian Development Scholarship (ADS).
Pertanyaan itu adalah “bisakah alumni dari universitas swasta yang tidak
terkenal mendapatkan beasiswa untuk S2 atau S3 di luar negeri?”
Jawabannya tentu saja “bisa” dan pertemuan saya dengan Cilla menegaskan
itu.
Cilla berasal dari Kupang, Nusa Tenggara
Timur (NTT) dan merupakan alumni dari Universitas Katolik Widya Mandira
di Kupang. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Cilla memutuskan untuk
bekerja sebagai dosen di almamaternya. Ketika tulisan ini saya buat,
Cilla ada di penggal terakhir perjuangannya menyelesaikan program master
(S2) di bidang Education and TESOL (combined degree)
di University of New South Wales (UNSW), Sydney, Australia. Cilla
menyelesaikan program itu dengan Beasiswa ADS/AAS dari Australian Agency
for International Development (AusAID). Saat saya tuliskan ini, Cilla
bahkan sedang menikmati keindahan New Zealand yang konon ajaib. Wajar,
Cilla memberi ‘hadiah’ pada dirinya yang sudah berjuang keras selama dua
tahun menyelesaikan program master di UNSW sebelum kembali untuk
mengabdi di tanah air tercinta.
Cilla adalah jawaban tegas terhadap
pertanyaan yang sering saya terima. Alumni dari sebuah universitas
swasta yang tidak terkenal sekalipun berhak dan bisa mendapat beasiswa
AAS untuk sekolah S2 di institusi keren di Australia. Ketika mendaftar,
katanya Cilla menggunakan TOEFL IBT (Internet-Based TOEFL) dengan skor
76. Ini setara dengan 540-543 dalam PBT (paper-based) TOEFL. Saya lega
mendengar ini karena ternyata Cilla adalah ‘manusia biasa’ seperti saya
dan kebanyakan dari kita. Dengan nilai TOEFL yang tidak spektakuler,
Cila bisa mendapatkan beasiswa AAS. Inilah berita baiknya dan ini yang
membuat saya semakin bersemangat bertanya. Percakapan kami soal beasiswa
AAS ini terjadi di Sydney Harbour sambil menikmati wibawa Sydney Opera
House di satu senja. Romantis? Tentu saja romantis karena Asti, isteri
saya, ada di sana juga :). Just in case you are wondering.
Penasaran, saya tanya bagaimana ceritanya
Cilla bisa mendapat beasiswa AAS. Cilla bilang, dia tahu Beasiswa AAS
dari kawannya yang bekerja di Universitas Nusa Cendana (UNDANA), sebuah
universitas negeri di Kupang. Rupanya, informasi Beasiswa AAS memang
cukup umum di UNDANA tetapi tidak terdengar di Universitas Katolik Widya
Mandira. BTW, setiap kali harus menulis nama universitasnya Cilla, saya
harus copas karena memang tidak mudah menghafalkannya, if you know what I mean. Peace Cilla :)
Cilla beruntung mendapatkan informasi Beasiswa AAS dari kawannya itu.
Jika tidak, mungkin ceritanya akan lain. Cilla juga menegaskan, dia
belum pernah mendengar tentang beasiswa AusAID ini (ADS maupun AAS) saat
kuliah S1. Mungkin karena jarang, kalaupun ada, dosennya yang
mendapatkan beasiswa ini sehingga tidak banyak yang bisa berbagi.
Penyebaran informasi adalah kunci.
Ketika saya tanya soal persiapan, Cilla
menjawab tidak ada persiapan khusus. Selain mencari informasi sendiri,
dia bertanya kepada yang sudah berpengalaman tentang pengisian formulir,
wawancara/interview dan tes IELTS. Tentu saja jumlah orang yang
ditanyai terbatas dan itu menghadirkan kesulitan tersendiri dalam proses
seleksi. Selain jarangnya senior dan kolega Cilla yang mendapatkan
beasiswa AAS/ADS ini, ada juga ‘isu’ bahwa beasiswa ini lebih
mengutamaksn dosen dari universitas negeri. Memahami itu, Cilla sempat
merasa khawatir dan ragu. Meski begitu, Cilla tidak mengurungkan niat
dan dia tetap melangkah meskipun dengan keraguan. Modalnya adalah
keberanian bermimpi dan melakukan sesuatu yang orang-orang di sekitarnya
tidak [mau/sempat/berani] lakukan.
Ketika ditanya apakah Cilla melihat ada
diskriminasi antara swasta dengan negeri, dengan positif Cilla menjawab
“saya tidak bisa mengatakan ada diskriminasi tapi memang pada waktu itu
terlihat bahwa informasi soal AAS/ADS hanya beredar di UNDANA dan
kebanyakan alumni AAS/ADS berasal dari UNDANA atau lulusan UNDANA”. Saya
pahami, situasi ini membuat penyebaran informasi menjadi kurang merata.
Ada konsentrasi informasi pada institusi-institusi negeri yang besar
sehingga kesempatan untuk mereka di institusi swasta, apalagi yang lebih
kecil, menjadi rendah. Seperti ditegaskan oleh Cilla, “jadi saya pikir
mungkin bukan karena diskriminasi tapi tidak adanya akses terhadap
informasi saja”. Lebih lanjut, Cilla berpendapat bahwa asal daerah jadi
cukup berpengaruh karena distribusi informasi tidak menyebar merata ke
daerah-daerah di luar Kupang sehingga lebih banyak pendaftar berasal
dari Kupang. Sementara itu, menurut Cilla, daerah-daerah lain di NTT
juga memiliki cukup banyak perguruan tinggi swasta yang punya potensi.
Apa sih hal penting yang membuat Cilla
diterima? Dia merasa adanya motivasi yang cukup kuat untuk kembali ke
NTT dan mengabdi pada bidang pendidikan adalah salah satu kunci
keberhasilanya. Selain itu, kemampuan berbahasa Inggris juga menurutnya
cukup berpengaruh. Saat ditanya soal kompetisi dengan para kandidat dari
universitas yang lebih besar seperti UNDANA, Cilla merasakan memang ada
perbedaan. Menurutnya, kandidat dari institusi yang lebih besar ini
terlihat lebih siap karena cukup familiar dengan IELTS, misalnya.
Menurut Cilla, mereka juga tahu lebih banyak atau punya banyak informasi
soal pendidikan di Australia. Tentu saja ini terjadi karena mereka
memiliki lebih banyak sumber informasi mengingat banyak kolega dan
senior mereka yang sudah mendapatkan beasiswa AAS/ADS ini. Ini adalah
‘kelemahan’ Cilla sebagai seorang kandidat yang berasal dari universitas
swasta dengan jumlah penerima ADS/AAS yang sangat sedikit, jikapun ada.
Singkatnya, Cilla tidak punya banyak tempat untuk bertanya. Meski
demikian, Cilla menambahkan bahwa sekarang ini sosialisasi Beasiswa
AAS/ADS mulai menyebar merata dan dia berharap informasi ini juga bisa
sampai ke perguruan tinggi di daerah-daerah terpencil untuk memperluas
kesempatan.
Pandangan Cilla soal informasi ini
membuat saya merenung. Di tengah limpahan informasi di internet dewasa
ini, ternyata masih banyak orang yang merasa sulit mendapatkan
informasi. Ternyata, kuncinya bukanlah ketersediaan tetapi kemauan dan
ketekunan mencari informasi. Bagi Cilla dan teman-temannya di NTT yang
bahkan belum pernah mendengar perihal beasiswa luar negeri, kehadiran
seorang pemandu mejadi penting. Di sinilah diperlukan kehadiran
seseorang yang berbaik hati membuka wawasan anak-anak muda itu, tidak
dengan menyuapinya dengan informasi tetapi dengan membuka dan memantik
rasa penasaran mereka. Jika saja rasa penasaran itu berhasil
dibangkitkan, maka mencari informasi tentu bukan perkara sulit di tengah
ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini. Jika
seseorang bisa menulis status di Facebook atau Twitter setiap lima menit
sekali, tentu tidak sulit bagi mereka untuk mendapat informasi tentang
Beasiswa AAS. Mereka hanya perlu satu orang yang membangunkan rasa
penasaran mereka dari tidur yang panjang.
Terkait pengalaman sekolah di Australia,
Cilla mengatakan bahwa tantangan yang dia hadapi adalah tuntutan untuk
membaca begitu banyak bahan kuliah. Cilla menegaskan bahwa kurangnya
budaya membaca saat kuliah S1 menjadi kendala utama ketika studi di
Australia. Melihat begitu tinggi tuntutan untuk membaca, Cilla merasa
bahwa dia dan teman-temannya seakan-akan memang tidak terlalu
dipersiapkan untuk bersekolah ke negara maju yang sistem pendidikannya
bagus. Lebih jauh, Cilla mengatakan bahwa sebenarnya banyak universitas
top di Indonesia berada di posisi yang lebih siap karena memiliki
fasilitas pusat bahasa atau language center untuk membantu
dosen atau mahasiswanya dalam menyiapkan tes TOEFL dan IELTS. Kata dia,
universitasnya bahkan tidak memiliki pusat bahasa dan itu juga merupakan
kelemahan tersendiri bagi alumni universitas swasta yang belum maju
untuk bersaing mendapatkan beasiswa luar negeri.
Ketika saya tanya soal tips untuk para
pejuang beasiswa AAS di masa depan, Cilla memberi pandangan sederhana
yang jitu. Menurutnya, pejuang beasiswa luar negeri, khususnya AAS,
jangan sampai termakan oleh informasi negatif yang mengurungkan niat
untuk mendaftarkan diri. Lebih lanjut dia menegaskan, selama punya
motivasi untuk mengabdi bagi Indonesia di bidang masing-masing, maka itu
sudah menjadi modal yang sangat bagus. Percakapan saya dengan Cilla
menjawab tuntas keraguan banyak orang selama ini. Memang menyenangkan
bisa kuliah S1 di universitas yang mentereng dan bergengsi tetapi
menjadi alumni universitas yang tidak terpandang bukan satu alasan bagi
kita untuk tidak bisa mencapai sesuatu yang tinggi. Tidak penting apakah
Anda pernah mendengar “Universitas Katolik Widya Mandira”. Yang penting
adalah kita tahu di sana ada Cilla yang semoga akan melahirkan Cilla-Cilla yang lain. Pada akhirnya, ini adalah soal kualitas diri. It is all about you. We need “U” for a “S_CCESS”.
Semoga sukses dalam modifikasi sobat sobat otomotif
Jangan lupa kunjungi blog kami yang lain ya .
Blog kata kata untuk yang galau atau untuk yang sedang jatuh cinta
Blog resep masakan populer dan dp bbm.
Blog kata motivasi dalam bahasa inggris
Blog lowongan kerja
Blog informasi beasiswa terbaru 2015
Blog Modifikasi motor terbaru
Blog daftar harga mobil baru
Blog informasi dunia percetakan dan printer terbaru
0 comments:
Post a Comment